Jam 18.00
Kami masih sibuk bermain di
tengah lapangan yang disekitarnya terdapat pohon bambu. Seharusnya kami harus
pulang ke rumah tetapi kami masih saja sibuk bermain-main dende’dende’
(permainan tradisional yang bergaris lalu melompat dengan satu kaki). Diantara
kami ada yang tiba-tiba merasa ketakutan seakan ia baru sadar saat ini sudah
petang. Kami percaya bahwa cambeu itu benar-benar ada,dimana bentuknya seperti
bola yang bulat,juga memiliki mata,cambeu tersebut tinggal dibawah pohon
bamboo, namun cambeu tersebut bisa membunuh jika kita mengatakan “engkai
ambo’mu mattiwi pico-pico melati” tetapi
cambeu tersebut akan pergi jika kita mengatakan “engkai indo’mu mattiwi
pico-pico melati”, konon katanya cambeu tersebut sangat membenci ayahnya karena
cambeu tersebut adalah hasil aborsi yang digugurkan akibat keinginan sang ayah
akan tetapi ibunya tidak ingin mengaborsikannya.
Aku mendengar cerita ini dari
teman sekolah ku dan kami akhirnya benar-benar percaya bahwa cambeu itu
ada,bahkan kami tidak berani bermain dibawah pohon bambu. Waktu itu kami merasa
ketakutan dan berlari begitu kencang untuk pulang ke rumah. Tapi, aku tidak
bisa berlari kencang,mereka meninggalkan ku hingga akhirnya aku menangis saat
berlari. Ingus ku dan air mata ku seirama membasahi pipi ku yang berwarna sawo
matang,hingga detak jantung ku tidak beraturan.
Aku tidak pernah di ajari tentang
tahayyul,atau tentang pamali-pamali yang biasanya banyak orang yang
percaya,karena orang tua ku tidak pernah mengajarkan hal semacam itu,tetapi
hanya mengajarkan tentang shalat,puasa,mengaji,zakat,dan dosa-dosa yang tidak
boleh dilanggar oleh agama islam.
Aku mengenal pamali-pamali dari
teman-teman ku hingga dari para tetangga namun aku agak tidak memercayainya
meskipun waktu itu aku hanya berusia 6 tahun karena doktrin dari keluarga ku
sangatlah kuat sehingga aku tidaklah memercayai pamali-pamali tersebut.
“jangan
memakai payung di dalam rumah nanti akan terjadi sesuatu,jangan menyimpan
sendok diatas panci nanti ketika kamu dijalan kecelakaan,jangan tidur memakai
bantal guling nanti kamu kecewa,kalo mengerjakan sesuatu jangan disisa nanti
punya ibu tiri,dan banyak lagi”
Aku sama sekali tidak percaya
dengan pamali-pamali tersebut tetapi seiring berjalannya waktu,saat ini aku memercayai
satu pamali karena hal tersebut benar-benar terjadi kepada ku dan aku tidak
punya waktu untuk menyesalinya. Selain pamali,aku juga mengenal yang namanya
tradisi dan lagi-lagi aku tidak mengetahui hal tersebut dari orang tua ku.
Disaat aku masih berusia 8 tahun
aku pernah memakan makanan dari acara tradisi-tradisi yang diadakan tetangga
ku,disaat itu aku pertama kalinya mak n disebuah acara tradisi-tradisi yang
diadakan oleh sebagian warga di desa ku. Waktu itu aku memakan daging ayam dengan
begitu lahap karena aku menyukai segala jenis daging selama itu masih halal. Sulit
dipercaya,disaat aku kembali ke kediaman ku mengapa aku merasa lemah,badan ku
panas dan aku benar-benar memuntahkan apa yang telah aku makan. Wajah ku
memerah,mata ku berkaca-kaca,kepala ku berdenyut-denyut,dan tubuh ku lemah,
nenek ku mengatakan
“ nak, sepertinya kamu telah
memakan makanan yang sudah di bacai-bacai (baca-bacai adalah bahasa bugis:
tradisi orang bugis yang memkai kemenyan,seperti perayaan hari
kematian,perayaan panen,dan perayaan disaat membeli barang baru) kamu jangan
memakan makanan yang sudah dibaca-bacai karena banyak setan yang telah
mengencingi makanan tersebut itulah penyebabnya kamu seperti ini”
Nenek ku mengajarkan untuk tidak
memakan makanan dari acara tradisi-tradisi yang dijalani orang lain karena
nenek ku mengatakan hal itu dilarang oleh agama islam. Namun,orang yang
melaksanakan tradisi “mabbaca-baca” tersebut tidak akan bisa meninggalkannya
karena mereka telah percaya bahwa tradisi mabbaca-baca tersebut akan
memakmurkan kehidupannya. Akhirnya aku mengerti mengapa keluarga ku tidak memiliki
tradisi-tradisi yang biasa orang lain kerjakan.