Jumat, 23 September 2016

CHAPTER 1: CAMBEU

Jam 18.00
Kami masih sibuk bermain di tengah lapangan yang disekitarnya terdapat pohon bambu. Seharusnya kami harus pulang ke rumah tetapi kami masih saja sibuk bermain-main dende’dende’ (permainan tradisional yang bergaris lalu melompat dengan satu kaki). Diantara kami ada yang tiba-tiba merasa ketakutan seakan ia baru sadar saat ini sudah petang. Kami percaya bahwa cambeu itu benar-benar ada,dimana bentuknya seperti bola yang bulat,juga memiliki mata,cambeu tersebut tinggal dibawah pohon bamboo, namun cambeu tersebut bisa membunuh jika kita mengatakan “engkai ambo’mu mattiwi pico-pico melati”  tetapi cambeu tersebut akan pergi jika kita mengatakan “engkai indo’mu mattiwi pico-pico melati”, konon katanya cambeu tersebut sangat membenci ayahnya karena cambeu tersebut adalah hasil aborsi yang digugurkan akibat keinginan sang ayah akan tetapi ibunya tidak ingin mengaborsikannya.
Aku mendengar cerita ini dari teman sekolah ku dan kami akhirnya benar-benar percaya bahwa cambeu itu ada,bahkan kami tidak berani bermain dibawah pohon bambu. Waktu itu kami merasa ketakutan dan berlari begitu kencang untuk pulang ke rumah. Tapi, aku tidak bisa berlari kencang,mereka meninggalkan ku hingga akhirnya aku menangis saat berlari. Ingus ku dan air mata ku seirama membasahi pipi ku yang berwarna sawo matang,hingga detak jantung ku tidak beraturan.
Aku tidak pernah di ajari tentang tahayyul,atau tentang pamali-pamali yang biasanya banyak orang yang percaya,karena orang tua ku tidak pernah mengajarkan hal semacam itu,tetapi hanya mengajarkan tentang shalat,puasa,mengaji,zakat,dan dosa-dosa yang tidak boleh dilanggar oleh agama islam. 
Aku mengenal pamali-pamali dari teman-teman ku hingga dari para tetangga namun aku agak tidak memercayainya meskipun waktu itu aku hanya berusia 6 tahun karena doktrin dari keluarga ku sangatlah kuat sehingga aku tidaklah memercayai pamali-pamali tersebut.
“jangan memakai payung di dalam rumah nanti akan terjadi sesuatu,jangan menyimpan sendok diatas panci nanti ketika kamu dijalan kecelakaan,jangan tidur memakai bantal guling nanti kamu kecewa,kalo mengerjakan sesuatu jangan disisa nanti punya ibu tiri,dan banyak lagi”
Aku sama sekali tidak percaya dengan pamali-pamali tersebut tetapi seiring berjalannya waktu,saat ini aku memercayai satu pamali karena hal tersebut benar-benar terjadi kepada ku dan aku tidak punya waktu untuk menyesalinya. Selain pamali,aku juga mengenal yang namanya tradisi dan lagi-lagi aku tidak mengetahui hal tersebut dari orang tua ku.
Disaat aku masih berusia 8 tahun aku pernah memakan makanan dari acara tradisi-tradisi yang diadakan tetangga ku,disaat itu aku pertama kalinya mak n disebuah acara tradisi-tradisi yang diadakan oleh sebagian warga di desa ku. Waktu itu aku memakan daging ayam dengan begitu lahap karena aku menyukai segala jenis daging selama itu masih halal. Sulit dipercaya,disaat aku kembali ke kediaman ku mengapa aku merasa lemah,badan ku panas dan aku benar-benar memuntahkan apa yang telah aku makan. Wajah ku memerah,mata ku berkaca-kaca,kepala ku berdenyut-denyut,dan tubuh ku lemah, nenek ku mengatakan
“ nak, sepertinya kamu telah memakan makanan yang sudah di bacai-bacai (baca-bacai adalah bahasa bugis: tradisi orang bugis yang memkai kemenyan,seperti perayaan hari kematian,perayaan panen,dan perayaan disaat membeli barang baru) kamu jangan memakan makanan yang sudah dibaca-bacai karena banyak setan yang telah mengencingi makanan tersebut itulah penyebabnya kamu seperti ini”
Nenek ku mengajarkan untuk tidak memakan makanan dari acara tradisi-tradisi yang dijalani orang lain karena nenek ku mengatakan hal itu dilarang oleh agama islam. Namun,orang yang melaksanakan tradisi “mabbaca-baca” tersebut tidak akan bisa meninggalkannya karena mereka telah percaya bahwa tradisi mabbaca-baca tersebut akan memakmurkan kehidupannya. Akhirnya aku mengerti mengapa keluarga ku tidak memiliki tradisi-tradisi yang biasa orang lain kerjakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar