Kamis, 12 Januari 2017

Chapter 3: Pajjenangeng dan Colo'Aju

Aku masih berusia 6 tahun adikku masih berusia 4 tahun kami selalu bersama ketika hari libur karena kami berdua tidak seatap.
waktu itu hujan turun begitu lebat, langit begitu gelap, tak seorang pun berlalu-lalang, suara gemuruh begitu keras membuat kami merasa ketakutan , angin begitu kencang, pepohonan menari-menari, kami menangis tersendu-sendu karena kami takut ibu dan ayah kami tidak pulang. Waktu itu sekitar jam 18.00 pelita dan seisi kebun yang jadi saksi.
Ibu dan ayahku meninggalkan kami berdua di tengah kebun hingga petang tiba, kami begitu khawatir karena orangtua kami belum pulang. Aku menyelimuti adikku dengan sehelai kain tipis agar adikku tidak kedinginan. Aku melihat sudut ke sudut , lalu aku melihat sebuah pelita (dalam bahasa bugis itu disebut pajjenangeng).
Aku mencari colo’ (korek api) untuk menyalakan pajjenangeng. Aku berusaha pajjenangeng bisa menyala namun colo’ yang aku pakai habis karena saat itu aku menggunakan colo’ aju (korek kayu) aku tidak berhasil menyalakan pajjenangeng hingga akhirnya kami menangis lebih keras.
“emma’….emma’…. bapa’ bapa’…. Lisu ni mitauka” aku bertriak sambil berpelukan memanggil ibu dan ayahku pulang karena kami merasa ketakutan. Diseberang rumah kebun kami ada kuburan, terkadang kami mendengar suara tangisan yang entah dari mana, waktu itu Andika baru saja meninggal dan dikuburkan diseberang rumah kami.
Kami semakin ketakutan hujan pun semakin deras, nyamuk-nyamuk menggit kami dan membuat kami semakin menangis. Tiba-tiba ibu kami memanggil kami berdua.
“nak.. nak.. nak… ibu disini bersama ayah mu” teriak ibuku.
Ayahku menyiapkan kuda untuk di tunggangi kembali ke rumah, kami ber-empat pulang bersama-sama,aku dan adikku menunggangi kuda yang ditarik oleh ayahku dan ibuku berjalan bersama ayahku, kami menggunakan senter yang warna lampunya masih berwarna merah karena waktu itu lampu senter berwarna putih belum ada”
“emma’ bapa’ denre mitau-tau ka sibawa anrikku” aku mengatakan kami merasa ketakutan.
“magai mu terri na’ aja’ mu terri engka mua” ibu ku mengatakan kalian jangan menangis ibu ada disini.
Ditengah perjalanan hujan tiba-tiba redah, namun angin begitu kencang, tidak lama lagi kami akan tiba ke desa tempat tinggal kami, tiba-tiba senter yang kami gunakan mati karena batrainya bermasalah, kami berjalan di tengah pohon coklat tanpa cahaya.

Aku merasa takut,aku hanya menutup mata dan menangis tanpa suara  aku mendengar suara anjing yang menggonggong, lalu aku membuka mataku perlahan-lahan hingga cahaya lampu terlihat,kami sudah tiba hingga akhirnya kami mendengar suara yang menjerit kesakitan, ibuku mengikuti suara tersebut ternyata suara tetangga yang sedang melahirkan anak pertamanya.